IHSANUL ‘AMAL

Setiap muslim pasti ingin amal ibadahnya diterima oleh Allah. Agar amal ibadah diterima oleh Allah, seluruh amal ibadah harus memenuhi kriteria amal yang ihsan atau ihsanul ‘amal, sebagaimana Allah swt. berfirman :

الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا ۚ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ

“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Al Mulk: 2)

Menceritakan kepada kami Bapakku, menceritakan kepada kami Muhammad bin Ahmad bin Yazid dan Muhammad bi Ja’far berkata keduanya, menceritakan kepada kami Ismail bin Yazid, menceritakan kepada kami Ibrahim bin Al-’Asy’ats, beliau berkata aku mendengar Al-Fudhail bin ’Iyadh berkata tentang firman Allah: ”Supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya”, beliau berkata: ‘Maksudnya, dia ikhlas dan benar dalam melakukannya. Sebab amal yang dilakukan dengan ikhlas tetapi tidak benar maka tidak akan diterima. Dan jika dia benar, tetapi tidak ikhlas maka amalnya juga tidak diterima. Adapun amal yang ikhlas adalah amal yang dilakukan karena Allah, sedang amal yang benar adalah bila dia sesuai dengan Sunnah Rasulullah”.

Atsar ini dikutip pula oleh Al-Lalikai dalam Syarah Ushul Itiqad (3/407), Al-Baghawi dalam Tafsir (5/125-124), Ibn Rajab dalam Jami Al-Ulum wal Hikam (3/20 –Tahqiq Dr. Mahir), dan lainnya. Lihat pula perkataan Ibn Katsir semisal ini dalam Tafsirnya (I/231).

Jadi syarat amal shaleh diterima atau syarat ihsanul amal ada 2 :

  1. Ikhlas /mencari ridha Allah
  2. Benar / Ittiba Rasulullah saw
  1. Ikhlas

عن أمير المؤمنين أبي حفص عمر بن الخطاب رضي الله تعالى عنه قال: سمعت رسول الله صلى الله تعالى عليه وعلى آله وسلم يقول: “إنما الأعمال بالنيات، وإنما لكل امرئ ما نوى، فمن كانت هجرته إلى الله ورسوله فهجرته إلى الله ورسوله، ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها أو امرأة ينكحها فهجرته إلى ما هاجر إليه”. رواه إماما المحدثين: أبو عبد الله محمد بن إسماعيل بن إبراهيم بن المغيرة بن بردزبه البخاري وأبو الحسين مسلم بن الحجاج بن مسلم القشيري النيسابوري في صحيحيهما اللذين هما أصح الكتب المصنفة.

Dari Amirul Mu’minin, Abu Hafsh Umar bin Al Khathab Radhiallahu Ta’ala ‘Anhu, dia berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya amal itu hanyalah beserta niat, dan setiap manusia mendapatkan apa-apa sesuai yang diniatkannya. Barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan RasulNya maka hijrahnya itu adalah kepada Allah dan RasulNya, dan barang siapa yang hijrahnya   karena dunia yang diinginkannya atau wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya itu kepada apa-apa yang ia inginkan itu.” (Diriwayatkan oleh Imamul Muhadditsin, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al Mughirah bin Bardizbah Al Bukhari dan Abul Husein Muslim bin Al Hajjaj bin Muslim Al Qusyairi An Naisaburi, dalam kitab shahih mereka yang merupakan kitab hadits paling shahih)

Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Allah Ta’ala berfirman:

أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنْ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلًا أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ

Aku adalah Sekutu Yang Maha Cukup, sangat menolak perbuatan syirik. Siapa yang menjalankan satu amalan, dia menyekutukanku dengan selainku dalam amalannya tersebut, maka aku tinggalkan dia dan (tidak aku terima) amal syiriknya tersebut.” (HR. Muslim)

Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan tentang makna di atas, “Aku (Allah) tidak butuh dari persekutuan dan selainnya. Maka siapa yang mengerjakan satu amalan untuk-Ku dan untuk selain-Ku Aku tidak akan menerimanya. Bahkan Aku tinggalkan amal itu untuk selain-Ku itu. Maksudnya bahwa amalan orang berbuat riya’ adalah batil, tidak diberi pahala, dan ia berdosa dengan amal itu.” (Syarah Nawawi ‘ala Muslim, no. 5300)

Dari Abi Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya manusia pertama yang diadili pada hari kiamat adalah orang yang mati syahid di jalan Allah. Dia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatan (yang diberikan di dunia), lalu ia pun mengenalinya. Allah bertanya kepadanya : ‘Amal apakah yang engkau lakukan dengan nikmat-nikmat itu?’ Ia menjawab : ‘Aku berperang semata-mata karena Engkau sehingga aku mati syahid.’ Allah berfirman : ‘Engkau dusta! Engkau berperang supaya dikatakan seorang yang gagah berani. Memang demikianlah yang telah dikatakan (tentang dirimu).’ Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeret orang itu atas mukanya (tertelungkup), lalu dilemparkan ke dalam neraka. Berikutnya orang (yang diadili) adalah seorang yang menuntut ilmu dan mengajarkannya serta membaca al Qur`an. Ia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatannya, maka ia pun mengakuinya. Kemudian Allah menanyakannya: ‘Amal apakah yang telah engkau lakukan dengan kenikmatan-kenikmatan itu?’ Ia menjawab: ‘Aku menuntut ilmu dan mengajarkannya, serta aku membaca al Qur`an hanyalah karena engkau.’ Allah berkata : ‘Engkau dusta! Engkau menuntut ilmu agar dikatakan seorang ‘alim (yang berilmu) dan engkau membaca al Qur`an supaya dikatakan (sebagai) seorang qari’ (pembaca al Qur`an yang baik). Memang begitulah yang dikatakan (tentang dirimu).’ Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeret atas mukanya dan melemparkannya ke dalam neraka. Berikutnya (yang diadili) adalah orang yang diberikan kelapangan rezeki dan berbagai macam harta benda. Ia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatannya, maka ia pun mengenalinya (mengakuinya). Allah bertanya : ‘Apa yang engkau telah lakukan dengan nikmat-nikmat itu?’ Dia menjawab : ‘Aku tidak pernah meninggalkan shadaqah dan infaq pada jalan yang Engkau cintai, melainkan pasti aku melakukannya semata-mata karena Engkau.’ Allah berfirman : ‘Engkau dusta! Engkau berbuat yang demikian itu supaya dikatakan seorang dermawan (murah hati) dan memang begitulah yang dikatakan (tentang dirimu).’ Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeretnya atas mukanya dan melemparkannya ke dalam neraka.’”

Hadits ini diriwayatkan oleh :

  1. Muslim, Kitabul Imarah, bab Man Qaatala lir Riya’ was Sum’ah Istahaqqannar (VI/47) atau (III/1513-1514 no. 1905).
  2. An Nasa-i, Kitabul Jihad bab Man Qaatala liyuqala : Fulan Jari’, Sunan Nasa-i (VI/23-24), Ahmad dalam Musnad-nya (II/322) dan Baihaqi (IX/168).

Al-Fudhail bin ‘Iyadh berkata, Meninggalkan amal karena manusia adalah riya’, sedangkan beramal karena manusia adalah syirik. Dan ikhlas adalah apabila Allah menyelamatkanmu dari keduanya.” (Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dan Ibnu Asakir, sebagaimana dalam kitab Al-Atsâr Al-Waridah ‘Anil Aimmah fi Abwabil I’tiqâd: 1/159, dan Syu’ab al-Iman, no. 6879)

  1. Benar/ Ittiba’ Rasulullah saw

Allah berfirman, “Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (QS. Al Hasyr : 7)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam urusan kami ini (urusan agama) yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak” (HR. Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718)


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan berasal dari kami, maka amalan tersebut tertolak” (HR. Muslim no. 1718)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setiap memulai khutbah biasanya beliau mengucapkan,

 

أما بعد، فإن خير الحديث كتاب الله، وخير الهدي هدي محمد، وشر الأمور محدثاتها، وكل بدعة ضلالة

“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah (perkara agama) yang diada-adakan, setiap (perkara agama) yang diada-adakan itu adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan (HR. Muslim no. 867)

Sesungguhnya yang membuat amal kita diterima oleh Allah adalah dengan syarat Ikhlas dan Ittiba’ Rasulullah, bila kita beramal dengan ikhlas dan tidak ittiba’ maka amalan kita tertolak, ketika kita beramal tidak ikhlas dan ittiba’ maka amalan kita juga tertolak, dan saat kita beramal tidak ikhlas dan tidak ittiba’ sudah pasti amalan kita juga tertolak.

Agar kita tidak terjebak dalam amal-amalan yang tertolak, tidak bisa tidak kita harus menuntut ilmu. Dengan menuntut ilmu kita akan bisa membedakan antara amal yang ikhlas dan tidak ikhlas, dan juga antara amalan yang ittiba’ Rasullullah atau amalan yang diada-adakan.

Nabi saw. bersabda :

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

“Menuntut ilmu wajib atas seluruh muslim.” (HR. Al Baihaqi)

Imam Bukhari ra. mengatakan, “Ilmu harus didahulukan sebelum perkataan dan perbuatan.” (Shahih Bukhari)

Imam Ibnu Hajar al Atsqalani ra. mengatakan berkaitan dengan perkataan Imam Bukhari tersebut, “Sesungguhnya ilmu adalah syarat shahihnya ucapan dan amalan, maka keduanya tidak dianggap tanpa keberadaannya…. Karena ia pembenar niat, sedang niat adalah pembenar amal. Maka pengarang (al Bukhari) mengingatkan agar tidak terlintas di benak mereka perkataan (yang sering mereka katakana): ‘Ilmu tidak bermanfaat tanpa amal’ yang mana mereka berbicara seperti itu hanya karena meremehkan perkara ilmu dan bermudah-mudahan dalam menuntutnya.” (Fathul Bari Syarah Shahihil Bukhari)

 

Wallahu ‘alam


Leave a comment